top of page

Kataku tentang Hujan


Prosa, puisi, cerita pendek, novel, pantun, lirik lagu serta karya sastra lainnya banyak sekali membahas tentangmu, Hujan.

Berbahagialah, nampaknya sastrawan-sastrawan itu amat menyukai kedatanganmu.


Hampir banyak tulisan yang aku baca menceritakan tentang hujan. Penulisnya menyukai hujan, dan membuat para pembacanya pun ikut menyukai hujan. Yang sebelumnya tidak menyukai berusaha menyukai, yang sebelumnya biasa saja menjadi lebih enthusiast dengan hujan. Yang menyukai rinai hujan, semakin larut dalam memaknai hujan itu sendiri bahkan mungkin menjadi sangat amat menikmati.


Luar biasa!


Sebuah tulisan dengan kata-kata sederhana itu laksana mantra. Kita seringkali sadar atau tidak tersihir dengan maknanya. Meskipun interpretasi setiap kata itu boleh jadi berbeda untuk masing-masing dari kita, tapi setidaknya kita menjadi sepaham.


Kembali lagi tentang hujan,

Aku salah satunya. Seorang pembaca yang beberapa tahun belakangan ini merubah persepsi dan sikapnya atas hujan. Sebelumnya, aku bukanlah pencinta, juga bukan pembenci hujan. Biasa saja. Aku anggap hujan hanya fenomena alam. Yang mengatur turunnya tentu saja Tuhan. Kadang mengeluhkan hujan datang saat aku sedang di jalan. Membuat baju menjadi basah, kotor, lepek, lembap, pokoknya tidak nyaman. Seringkali hujan juga datang bersama petir dan kilat. Membuatku sedikit takut dengan suara dan cahayanya yang tanpa permisi memecah langit suram berawan. Terlebih ketika hujan turun mengajak angin, bisa jadi mengerikan. Pohon-pohon besar tumbang, tanah tak kuat menahan lalu longsor, atau yang sering terjadi di negeriku, adalah banjir. Gara-gara hujan? Bukan, katanya gara-gara manusia itu sendiri yang tidak pandai menjaga bumi. Namun dalam beberapa kondisi aku juga berharap hujan datang, sekedar agar mampu mengobati kekeringan. Air. Bagaimanapun, itu sumber kehidupan. Atau saat udara sedang terik-teriknya. Ya, saat itu aku berharap hujan datang. Egois ya? Mungkin.


Tapi tunggu, kabar baiknya.. Alhamdulillah, kini aku semakin tersadar.


Dengan memahami tulisan tentang hujan, aku berusaha bijak menerima ia kapanpun ia mau turun. Berusaha menerima bagaimanapun cara ia turun. Hujan itu barakah. Keberkahan Allah SWT turun bersamanya, makanya saat itu kita dianjurkan berdoa. Hujan menjadi waktu mustajab untuk kita berdoa, entah itu memohon pengabulan asa atau ampunan dosa. Tentu saja ini menjadi info menarik bagi kita yang suka sekali berharap. Tentang apapun.


Hujan,

Lebih kurang juga memberikan banyak inspirasi. Seketika melahirkan ide-ide segar, sesegar air hujan yang jatuh dari langit itu. Kemudian, baru-baru ini juga aku tersadar tentang aroma hujan. Ternyata hujan punya bau. Khas memang. Uniknya, bau hujan ini mampu membuatku menyusun kenangan di masa lalu untuk aku proyeksikan dengan langkah yang ku ayunkan saat ini. Entah mengapa, kadang tetes hujan yang semakin besar menubrukkan tanpa ampun ke tubuhku itu, membuat tekadku semakin bergelora, langkahku lebih kuat dan cepat, serta hatiku yang seolah semakin kokoh, sekokoh kepalan tanganku. Ternyata, hujan yang deras ingin mengajarkanku tentang rasanya bergerak dan berjuang. Tidak mudah, tapi menantang untuk dilakukan.


Untuk hujan yang turun berinai-rinai santai, ternyata ia ingin mengajarkanku tentang sejuknya bersyukur pada kehidupan. Mungkin saat itu ia tahu aku sedang penat dengan aktivitas harian yang terkadang membosankan juga mengkhilafkan, lantas ia mencoba menyapa manusia-manusia yang sepertiku ini untuk sejenak melupakan arogansi dan mengingatkan pada hal-hal yang luput untuk selalu disyukuri.


Bagaimana dengan gerimis? Apa itu termasuk hujan?


Iya, itu awalan hujan datang. Mau tahu apa yang ia ajarkan kepadaku? Gerimis ternyata ingin mengajarkanku tentang sebuah kesiapan dan harapan. Saat gerimis, kita bersiap dengan payung di tangan atau mulai berjalan lebih cepat dari sebelumnya untuk sampai pada tujuan, karena hampir yakin bahwa hujan pasti akan segera datang. Cepat atau lambat. Sama, bahwa hidup ke depan harus dipersiapkan, bukan? Dan yang jangan sampai kita kehilangan adalah itu, harapan.


Ya, harapan.


Tentu saja, bukan berarti kita menjadi insan-insan yang hanya bisa berharap saja pada keadaan tanpa ada usaha mewujudkan harapan itu.

Dan tentu saja, semua yang menjadi harapan, haruslah ditujukan hanya pada Tuhan. Mengapa begitu? Karena jika harapan itu ditujukan pada manusia, itu artinya kita harus siap untuk menerima kekecewaan.


Hujan, sejauh ini aku belum bisa membuatmu selalu menjadi ‘something special’. Karena aku hanya ingin jujur saja mengatakan, kadang aku tidak terlalu suka menjadi basah dan kedinginan. Tapi kau boleh mencatat pernyataanku ini: “Sebisa mungkin, aku tidak akan mengutukmu saat engkau ingin turun, wahai hujan. Maka turun saja, tidak apa-apa” :)


Hujan, aku menganggap turunmu adalah waktu untuk aku kembali mendapat pelajaran!


Setidaknya begini, rangkaian kata-kataku tentang engkau, Hujan.

Jangan marah ya, salamku untuk para penikmat setiamu, wahai hujan! :D



Kota hujan, 28 November 2015

Dini hari yang menyejukkan, dan aku terjaga.

NP Adhitia Sofyan, “After the Rain”


Recent Posts
Archive
bottom of page