top of page

Tunjukkan



Aku bertingkah lagi. Berbicara dan berdebat tak habisnya dengan diriku sendiri. Entah sampai kapan akan seperti ini tapi aku menikmatinya.


Berhenti.


Jika aku memutuskan untuk menghentikan keresahan dan tanda tanya dengan maksud agar aku tenang, sialnya aku sering dihantui rasa gelisah yang selalu datang tanpa permisi. Pikiranku berkecamuk, kadang berdamai dengan logika, kadang terpatahkan dengan perasaan. Nuraniku berbisik terlalu pelan tentang jalan mana yang harus aku pilih, hingga aku harus benar-benar waspada dengan langkahku sendiri.


Hati.


Ini yang paling sulit untuk aku pahami. Barangsiapa yang pandai mengendalikannya, ku akui orang itu hebat sekali. Bisa bayangkan bagaimana bisa dikatakan mudah mengendalikan sesuatu yang tak terlihat rupanya tapi bisa memberikan pengaruh yang amat berarti terhadap suatu kondisi diri? Mengendalikan yang terlihat saja terkadang lemah tak berdaya!


Aku menertawakan kebodohanku, tingkahku, ucapanku, dan janjiku. Merasa kembali jijik dengan semua kebohongan yang aku buat, aku klaim saja dengan sebutan ‘kebohongan’ atas setiap hal yang aku gagal melawan diriku sendiri di dalamnya. Aku mengutuki setiap penyesalan atas janji-janjiku yang aku ingkari. Ucapan yang hanya mulia di mulut, tapi hina secara realita. Itu semua membuatku merasa muak dan mungkin nyaris putus asa. Tapi aku tidak boleh bisa seperti itu, penyesalanku akan semakin besar kelak di hari tua, jikalau memutuskan untuk berputus asa sejak masih muda.


Aku tidak mau.


Hidup namun mati rasa. Mati namun seolah memang tidak pernah hidup sebelumnya. Hidup hanya menunggu tubuh keriput, atau mati dini sebagai seorang pengecut.


Semua hal di dunia ini sungguh sangat abstrak. Aku dikenalkan pada berbagai macam lawan kata. Mereka mengenalkan kebenaran dan kesalahan, ada hitam ada putih, juga kiri atau kanan. Aku kira semua lawan kata itu memang memiliki koridor yang jelas sehingga benar-benar memang terpisah, dan semua orang akan sepakat dengan ketentuan, semua orang akan menerima standar yang dibuat. Namun ternyata kesepakatan itu sejatinya memang tidak pernah dibuat. Dan memang tidak akan pernah bisa. Ternyata, aku harus segera mengubur asumsi itu dalam-dalam karena tak kunjung sesuai dengan yang terjadi. Tidak habis pikir aku dibuatnya, mereka pun berdebat tentang itu semua. Tentang yang mana yang benar, yang mana yang salah. Tentang keberadaan abu-abu di antara hitam dan putih. Tentang interpretasi yang terlalu permisif sehingga aku kesulitan mengidentifikasi makna kiri atau kanan. Semangat awalku untuk bisa tepat memilah keduanya pupus sudah. Akhirnya dengan seenaknya mereka menyimpulkan bahwa segala sesuatunya bersifat relatif. Lantas tanyaku selanjutnya bernada jengkel; mengapa mereka berani-beraninya mengajarkan padaku bahwa semua kata itu adalah kata yang berlawanan? Sedangkan tidak ada beda, atau lebih tepatnya maknanya bisa bermacam-macam bahkan sah saja jika saling tukar. Bisa gila aku dibuatnya jika selalu mengikuti perkelahian sudut pandang mereka yang tak pernah ada habisnya!


Ah maaf, ini hanya luapan kekesalanku yang mungkin sudah terlalu jenuh dengan dampak perbedaan yang acapkali berujung pada kontestasi sosial, meski sudah mati-matian slogan perbedaan akan menciptakan sinergitas terbaik digaungkan, sayangnya tidak semudah itu perbedaan dipersepsikan oleh semua orang.


Sebegini kah rumitnya menemukan jati diri?


Terkadang aku berpikir bahwa kita terlalu terjebak dengan jati diri itu sendiri. Tapi aku pun tak bisa menyalahkan tentang proses yang memang harus masing-masing kita tempuh untuk membentuk diri kita sendiri. Kalau sampai tak memahami diri, tentu urusannya akan semakin rumit dan sulit. Maka aku ingin meminjam istilah para intelektual dalam akademi-akademi; efektif serta efisien. Dalam apa? Tentu saja, dalam menerjemahkan jati diri. Agar jangan terlalu lama menghabiskan waktu merenung dan terlalu banyak kegagalan yang terus dilakukan tanpa ada pelajaran yang dapat dipetik. Ya, aku ingin kalimatnya menjadi sedikit lebih ilmiah: Menemukan jati diri secara efektif dan efisien.


Maka aku memohon dengan seluruh jiwaku.


Kepada Sang Pengabul Permohonan. Wahai Tuhan, Engkau harus bertanggung jawab dengan semua skenario yang telah Kau buat ini. Arena ujian ini sungguh memusingkanku. Engkau harus tunjukkan aku dan orang-orang yang ingin ditunjukkan kepada apa yang selalu digaungkan penuh khidmat itu; aku terlanjur memahaminya dengan sebutan kebenaran.


Tunjukkan kami, cara agar tidak angkuh dalam berbicara dan menganggap diri paling baik. Cara bijak dalam menghadapi setiap jenis persoalan yang silih berganti, serta cara agar tetap kuat bertahan dengan semua ini.


Tunjukkan, agar jangan sampai kami tidak menyadari jika kami sedang berjalan bahkan berlari menuju jurang tak bertepi.


Tunjukkan kami,


Pada jalan yang Kau sebut itu lurus. Pada tali yang Kau hendaki kami agar berpegang teguh padanya. Pada cinta yang Kau sebut itu sejati. Hingga pada akhirnya tak dipungkiri, kami juga amat penasaran dan menginginkan pada tempat terindah yang selalu Kau sebut dalam kitab suci itu abadi.


Tunjukkan wahai Allah, pemilik semesta dan seisinya. Karena yang baru bisa aku sadari saat ini bahwasanya aku ini hanya seorang insan ciptaanMu yang sedang belajar untuk hidup sesuai apa yang Engkau mau.


Maka sekali lagi, tunjukkanlah.


Dan yang terpenting adalah: buat kami memahami petunjuk yang telah Engkau berikan. Agar tidak bodoh dalam menafsirkan.


Yang masih penuh tanda tanya dalam pikirannya,

semoga tidak rapuh dan lelah untuk mencari jawabannya,

MEDINA PUTRI

(Saat langit Bogor hitam pekat dan para jangkrik sedang berdebat hebat)


Recent Posts
Archive
bottom of page