top of page

Idhul Fitri dan Keshalehan Sosial

Benarkah Kita Kembali Fitri ?

Fitri berarti suci, bersih. Setiap muslim yang telah melewati dan menjalani bulan Ramadhan maka diibaratkan ia telah melalui proses pencucian, masa rehabilitasi, atau apapun namanya untuk kembali menjadi pribadi yang fitri. Ampunan Allah SWT pada bulan Ramadhan begitu besar. Beberapa hadits yang terkait dengan ini antara lain:


رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَىَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ

“Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang disebutkanku, lalu dia tidak bershalawat atasku. Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang datang kepadanya Ramadhan kemudian bulan tersebut berlalu sebelum diampuni untuknya (dosa-dosanya). Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang mendapati kedua orangtuanya lalu keduanya tidak memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi).

“Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?”

Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: Allah melaknat seorang hamba yang melewati ramadan tanpa mendapatkan ampunan, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (surga) karena tidak berbakti kepada mereka berdua’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.

(HR Ibnu Khuzaimah dishahihkan oleh Albani)


“Betapa banyak orang berpuasa tapi tidak mendapat (pahala) apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan betapa banyak orang yang sholat malam (tarawih) tapi tidak mendapatkan apa-apa selain begadang saja”. (HR An-Nasai)



Bulan Ramadhan memang dahsyat. Fenomena keshalihan masyarakat begitu nampak. Mulai dari masjid-masjid yang biasanya sepi penghuni menjadi ramai, Al-Qur’an yang sebelumnya bak kitab sakral yang tabu untuk disentuh dan dibaca menjadi laksana buku-buku novel yang senantiasa dibawa, kotak-kotak amal yang seringkali dihiasi koin-koin recehan mulai penuh dengan lembaran-lembaran uang bernominal lumayan, dan tiba-tiba saja para yatim dan dhuafa’ begitu dicari-cari untuk menjadi tamu dan sasaran acara-acara santunan juga bakti sosial, nasihat-nasihat penuh hikmah atau pesan-pesan moral bertebaran dalam media sosial. Ya, semua orang tampak berlomba-lomba dalam kebaikan, menjadi shalih berjama’ah. Alhamdulillah!


Setelah Ramadhan usai, lalu Idhul Fitri pun datang. Hari itu disebut-sebut sebagai hari kemenangan. Kemenangan atas apa? Katanya kemenangan melawan diri sendiri. Pembahasan ini menjadi menarik jika mau kita ulas lebih dalam. Teringat ketika para sahabat telah memenangkan berbagai perang senjata melawan musuh-musuh tangguh, lantas Rasulullah SAW bersabda bahwa sesungguhnya perang paling sulit adalah perang melawan nafsu sendiri. Maka mendeklarasikan menang pada hari raya Idhul Fitri menjadi sangat luar biasa. Sebuah pernyataan yang cukup berani bagi seorang muslim.


Pada tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan sedikit ilmu yang saya peroleh dari salah seorang guru SMP saat kemarin saya berkunjung ke rumah beliau bersama teman-teman. Menarik sekali, beliau menyampaikan kurang lebih seperti ini:


Pada hakikatnya puasa tidak sekedar bagi kita untuk bisa merasakan kelaparan yang seringkali dialami orang-orang kecil. Kurang tepat jika hanya dimaknai sebatas itu, karena orang-orang kecil pun juga berpuasa, bukan? Ash-Shiyaam atau puasa artinya menahan. Bagaimana kita sebagai makhluk yang memiliki hawa nafsu ini, Allah SWT tantang untuk menahan itu. Refleksi puasa sesungguhnya menjadi refleksi kehidupan, bagaimana kita bisa menahan untuk tidak memiliki rumah besar, mobil bagus, makan enak hingga waktu yang tepat. Sampai kapan? Sampai pada waktu yang ditentukan untuk kita diizinkan memiliki itu semua dengan uang yang halal dan berkah serta hati yang lapang dan jernih, agar kebermanfaatan atas itu semua tidak melalaikan diri. Jika konteks ini ingin kita tarik lebih jauh, maka makna Ash-Shiyaam ini merepresentasikan bagaimana seharusnya seorang muslim menjalani kehidupannya di dunia. Menahan diri dari hal-hal yang Allah SWT larang, dari hal-hal buruk, syubhat, bahkan menahan diri untuk tetap dalam koridor yang ditentukan. Sampai kapan? Sampai pada waktu dimana semuanya diperbolehkan dan kita dimanjakan selamanya. Ya, kelak di Jannah-Nya jika Allah mengizinkan. Aamiin.


Ash-Shiyaam juga masih menarik. Dalam teori ekonomi sederhana yang kita pelajari saat SMA dulu misalnya saja, yakni Hukum Gossen I atau istilah kerennya di materi kuliah anak ekonomi adalah The Law of diminishing marginal utility yang kurang lebih berbunyi: “Jika pemenuhan kebutuhan akan suatu jenis barang dilakukan secara terus menerus, maka rasa kepuasannya yang mula-mula tinggi menjadi semakin menurun hingga mencapai batas jenuh.”


Lantas, apa maksudnya?


Saya rasa semua orang yang berpuasa seharian penuh akan sepakat jika meminum segelas air teh atau es campur saat berbuka kenikmatannya jauh lebih besar bila dibandingkan jika ia mengonsumsi pada hari-hari biasa. Contoh lainnya, seperti berpacaran. Apabila mereka menikah, mungkin kenikmatan cinta yang dirasakan tidak sebesar orang yang sebelumnya tidak pernah berpacaran bahkan bisa jadi menjadi biasa saja karena sudah seringkali melakukan hal yang sama ketika berpacaran. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah..


Maka logika sederhananya adalah jika ingin mendapatkan kenikmatan atau kepuasan besar terhadap suatu hal maka tahanlah. Sungguh beruntung orang-orang yang mampu menahan syahwatnya, menahan pandangannya, menahan amarahnya, dan menahan nafsu-nafsu lainnya. Ash-Shiyaam yang berhasil adalah ketika mampu mengajarkan kita tentang sebaik-baik sabar dan syukur.


Dalam ayat perintah untuk berpuasa yang sungguh terkenal itu, Q.S Al-Baqarah: 183 di awali dengan panggilan ‘yaa ayyuhalladziina aamanu..’ yang artinya wahai orang-orang yang beriman! Ibarat ingin membuat jus buah segar. Kita memerlukan input atau bahan baku buah serta blender yang baik sebagai alat untuk memperoleh hasil output alias jus buah yang segar. Input dapat kita ibaratkan sebagai orang-orang yang beriman tadi, kemudian alat prosesnya atau blender itu adalah Ash-Shiyaam dan outputnya adalah pribadi yang kembali fitri. Analogi sederhana ini menjadi menarik untuk dianalisis, jika setelah kita berpuasa, namun ternyata tidak menjadi pribadi yang fitri maka hanya ada dua kemungkinan yang salah disini, entah dari bahan baku/inputnya atau dari alat prosesnya? Jawaban ini hanya bisa dijawab oleh masing-masing dari diri kita :’)


Bercita-cita menciptakan keshalihan sosial namun lupa dengan keshalihan pribadi. Tidak ada yang lebih tepat dari upaya awal untuk membangun peradaban madani selain membangun diri kita terlebih dulu. Karena hanya kita sendiri yang bisa memastikan dan jujur terhadap nurani tentang arti kemenangan dari Idul Fitri. Semoga kita semua menjadi output terbaik dari manusia-manusia alumni Ramadhan, yakni kembali menjadi pribadi nan fitri. Kemudian siap menyebarkan keshalihan sosial yang hakiki. Aamiin.


***


Betapa banyak orang yang meminta maafnya manusia lain, tapi lupa berharap maaf dan ampunan Tuhan padanya. Betapa banyak orang yang bersilaturahim dengan orang lain, tapi ia lupa bersilaturahim dengan Tuhannya.

Semoga keshalihan Ramadhan kemarin mampu kita pertahankan hingga Ramadhan yang akan datang, keshalihan itu meningkat dan meluas. Keshalihan itu benar-benar kita inginkan dan kita upayakan. Tidak hanya ucapan harap yang mudah menguap lantas hilang dalam ingatan. Wallahu’alam bisshowab.


Recent Posts
Archive
bottom of page